Senin, 11 April 2011

irarki perundang undangan di indonesia


JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sabtu, 12 April 2011 09:50 Wib
Assalamualaikum.Wr.Wb.

Begini pak, Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tercantum dalam UUD Negara RI BAB I Pasal 1 ayat 3 dengan demikian negara ini diatur harus berdasarkan hukum. Saya sering mendengar ada istilah undang-undang, peraturan perundang-undangan, TAP MPR, Peraturan Pemerintah, Perda, dll. Dalam hal ini saya ingin bertanya :
1. Apakah antara istilah undang-undang dan peraturan perundangan-undang itu sama ?
2. Sebagai Negara hukum apakah istilah-istilah yang saya sebutkan diatas merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
AM (Tembilahan)

Sdr. AM, terimakasih atas partisipasinya dalam program konsultasi hukum kami.
Berkaitan dengan pertanyaan saudara yang pertama, dalam ilmu hukum ada istilah undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materil.
Undang-undang dalam arti formil adalah undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislative (DPR) yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum. Hal ini dipertegas dalam rumusan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 yang dimaksud dengan undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan undang-undang dalam arti materil adalah peraturan perundangan-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum disebut juga undang-undang dalam arti materil.
Dapat disimpulkan untuk membedakan antara undang-undang dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut organ pembentuk dan isinya. Jika organ yang membentuk itu adalah pejabat yang berwenang dan isi berlaku dan mengikat umum maka disebut sebagai undang-undang dalam arti materiil. Hal ini berarti jika ada ketentuan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang namun isinya tidak bersifat dan mengikat umum maka ketentuan tersebut tidak dapat disebut sebagai undang-undang dalam arti materil atau perundang-undangan.
Sedangkan berkaitan dengan pertanyaan saudara yang kedua dapat saya jelaskan bahwa istilah-istilah yang saudara sebutkan diatas adalah benar merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia atau sering juga disebut jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dalam hukum tata negara kita sejarah tentang jenis dan hirarki diatur dulu diatur dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973. Adapun jenis dan hirarki dimaksud sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lain.
Selanjutnya setelah reformasi berdasarkan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan jenis peraturan perundang-undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Penyebutan jenis peraturan perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Artinya, suatu peraturan perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
TAP MPR Nomor III/MPR/2000 diatas melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan mengalami perubahan lagi. Menurut UU No. 10 tahun 2004 jenis dan hirarki peraturan perundnag-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
6. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi: a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah c) Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; d) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur. Jenis dan hirarki menurut UU No. 10 tahun 2004 ini yang sekarang masih berlaku.
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermamfaat bagi saudara. Wassalam (pengasuh).

Tata cara sidang perkara peradilan pidana

Tata Cara Sidang Perkara Pidana

Dalam waktu 3 bulan kami nongkrongin PN Watampone, belum juga menuntaskan praktek peradilan yang kami ikuti, pidananya sih kelar tapi perdata itu loh, ampun, sepertinya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan g berlaku deh kalo kasus perdata (di PN Watampone red).
Jadi yang bisa sa bikin laporannya cuma tata cara sidang perkara pidana. Mudah2an bisa membantu teman2 dalam mata kuliah praktek peradilan.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim / majelis hakim sidang pemeriksaan perkara pidana dibuka seperti ketentuan dalam pasal 152 dan 153 KUHAP, adapun tata cara dan urutannya adalah sebagai berikut:
A. Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang
Tahap pembukaan dan pemeriksaan identitas tersangka :
1. Yang pertama kali memasuki ruang sidang adalah panitera pengganti, jaksa penuntut umum (perorangan atau tim), penasehat hukum terdakwa dan pengunjung sidang, masing-masing duduk ditempat duduk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
2. Sebagai protokol sidang karena keterbatasan tenaga biasanya dilakukan oleh panitera pengganti, yang mengumumkan bahwa hakim / majelis hakim akan memasuki ruang sidang dengan perkataan kurang lebih sebagai berikut : “ Hakim / Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri “ (Pasal 2 PerMenKeh No.M.06.UM.01.06 Tahun 1983).

3. Semua yang hadir dalam ruang sidang berdiri untuk menghormati hakim / majelis hakim, termasuk jaksa penuntut umum dan penasehat hukum.
4. Hakim / Majelis Hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus mulai dari yang terdepan hakim ketua diikuti oleh hakim anggota I (Senior) dan hakim anggota II (Junior).
5. Hakim / Majelis Hakim duduk ditempat duduknya masing-masing tersebut diatur sebagai berikut : Hakim Ketua ditengah, dan Hakim Anggota I berada disamping kanan dan Hakim Anggota II berada dikiri.
6. Panitera mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.
7. Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata kurang lebih sebagai berikut :
“Sidang Pengadilan Negeri Watampone yang memeriksa perkara pidana nomor ….(nomor perkara yang bersangkutan)… atas nama terdakwa … pada hari … tanggal …. Dinyatakan dibuka dan TERBUKA UNTUK UMUM “ , diikuti dengan ketukan palu 3 (tiga).
B. Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang
1. Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah tersangka telah siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini. Jika penuntut umum tidak dapat menghadirkan tersangka pada sidang hari ini, maka hakim harus menunda persidangan pada hari yang akan ditetapkan dengan perintah kepada penuntut umum supaya memanggil dan menghadapkan tersangka.
2. Jika penuntut umum telah siap untuk menghadirkan tersangka, maka ketua memerintahkan supaya tersangka dipanggil masuk.
3. Penuntut umum memerintahkan pada petugas agar tersangka dibawa masuk diruang sidang.
4. Petugas membawa masuk tersangka keruang sidang dan mempersilahkan tersangka untuk duduk dikursi pemeriksaan. Jika tersangka tersebut ditahan, maka biasanya dari ruang tahanan pengadilan keruang sidang dikawal oleh petugas pengawalan, sekalipun demikian tersangka harus dihadapkan dalam keadaan bebas (tidak diborgol). Ini adalah salah satu penghormatan satu asas yaitu Presamtion of Inocence (asas praduga tidak bersalah).
5. Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
a. Apakah tersangka dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa ?
b. Identitas tersangka (nama,umur,alamat,dan lain-lain) sebagaimana tersebut dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya hakim menginggatkan tersangka untuk agar memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam persidangan.
6. Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh penasehat hukum.
a. Jika tersangka tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim menegaskan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, akhirnya tersangka diberi kesempatan untuk mengambil sikap menyangkut apakah akan maju sendiri, mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum yang mendapinginya dengan cuma-cuma (Prodeo). Atau minta waktu untuk menunjuk penasehat hukum sendiri.
b. Jika tersangka didampingi oleh penasehat hukum maka selanjutnya hakim menanyakan pada penasehat hukum apakah benar dia bertindak sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim anggota perihal dokumen tersebut.
C. Pembacaan Surat Dakwaan
1. Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan.
2. Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk, namun yang sering dipakai adalah cara pertama alasannya adalah untuk menghormati sidang. Jika dakwaan panjang maka dapat dibaca bergantian (dalam hal penuntut umumnya lebih dari satu).
3. Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa.
4. Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali.
D. Pengajuan Eksepsi (Keberatan)
1. Setelah terdakwah menyaakan paham dan mengerti tentang maksud dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang menyangkut kompetensi pengadilan.
2. Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya.
3. Apabila ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya tidak mengajukan eksepsi maka sidang dilanjutkan pada tahap pembuktian.
4. Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi, maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap dengan nota eksepsi.
5. Kalau ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya belum siap maka hakim memberikan kesempatan untuk mengajukan pada sidang kedua, dan sidang di tunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa dan penasehat hukumnya.
6. Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya.
7. Pengajuan eksepsi dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis.
8. Apabila eksepsi tertulis, setelah dibacakan maka eksepsi tersebut diserahkan kepada hakim dan salinannya diserahkan pada penuntut umum.
9. Dalam hal pembacaan surat dakwaan berlaku juga bagi terdakwa dalam membacakan eksepsi.
10. Eksepsi dapat diajukan oleh penasehat hukum saja dalam hal terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya pada penasehat Hukumnya, dapat juga kedua-duanya mengajukan eksepsi menurut versinya masing-masing.
11. Apabila kedua-duanya akan mengajukan eksepsi maka kesempatan pertama diberikan pada penasehat hukumnya.
12. Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (Replik).
13. Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi (Duplik).
14. Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut, hakim meminta waktu untuk memeprtimbangkan dan menyusun “putusan sela”.
15. Apabila majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk memutuskan eksepsi tersebut mudah/sederhana maka sidang apat diskors selama beberapa waktu untuk menentukan putusan sela.
16. Tatacara skorsing sidang ada dua macam yaitu;
a. Cara 1: Mejelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk membahas/memeprtimbangkan putusan sela di ruang hakim, sedangkan penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum serta pengunjung tetap berada di ruang sidang.
b. Cara 2 : hakim tetap berada diruang sidang, jaksa penutut umum, penasehat hukum, dan pengunjung di mohon keluar (cara inilah yang sering dipakai).
c. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan wkatu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
17. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.
E. Pembacaan/pengucapan putusan sela
1. Setelah hakim mencabut, maka sidang dibuka kembali dengan acara pembacaan/pegucapan putusan sela.
2. Tata cara pembacaan putusan sela tersebut dibacakan dan diucapkan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya, dalam hal putusan sela tersebut panjang, dimungkinkan putusan sela dibaca secara bergantian dengan hakim anggota pembacaan amar putusan diakhiri dengan ketokan palu sebanyak 1 (satu) kali.
3. Putusan sela biasanya menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut;
a. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan.
b. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara tersebut dilanjutkan.
c. Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus.
4. Setelah putusan sela selesai dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima putusan sela tersebut atau akan mengajukan perlawanan.


B.2. Sidang Pembuktian dalam Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Setelah putusan sela dibacakan dan ternyata sidang harus dilanjutkan maka tahap selanjutnya adalah sidang pembuktian, yakni pemeriksaan terhadap alat buktian barang bukti. Berdasarkan paal 184 KUHP yang masuk sebagai alat bukti adalah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan pengertian barang bukti adalah suatu barang/benda yagn dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya barang yang merupakan obyek delik, hasil delik maupun alat/sarana untuk melakukan delik (Al. Wisnubroto, 2002;15). Dalam keseluruhan proses, yang paling penting adalah tahap/proses pembuktian ini, karena pembuktian ini nantinya akan dijadikan daar pertimbangan hakim dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak serta sebagai dasar pemidanaan.

Sebelum acara pembuktian dimulai, hakim mempersilahkan terdakwa supaya duduk di kursi terdakwa. Proses dan prosedur pembuktiannya adalah sebagai berikut;
A. Pengajuan saksi yang memberatkan (saksi A charge) oleh jaksa penuntut umum.
1. Hakim ketua bertanya pada penuntut umum, apakah telah siap untuk menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini.
2. Apabila penuntut umum sudah siap, maka hakim segera memerintahkan pada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi satu demi satu orang saksi ke ruang sidang (pasal 160 KUHP). Menurut pasal 159 KUHP, sebelumnya hakim memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu sama yang lain sebelum memberikan keterangan di sidang.
3. Saksi yang pertama kali dihadirkan adalah saksi korban, setelah itu baru saksi-saksi yang lain yang berhubungan dengan perkara. Saksi dapat yang sudah ditentukan dalam surat pelimpahan dapat juga saksi tambahan.
4. Tata cara pemerikaan saksi
a. penutut umum menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa
b. petugas membaca saksi masuk ke ruang sidang dan memeprsilahkan saksi duduk dikursi pemeriksaan.
c. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang
1. identitas saksi (nama, umur, alamat, pekerjaan dan lain-lain)
2. Apakah saksi kenal dengan terdakwa.
3. Apakah saksi memiliki hubungan darah dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan terdakwa atau dalam hubungan apa saksi dengan korban.
5. Hakim meminta agar saksi bersedia disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
6. Tata cara pelaksanaan sumpah yang biasa dilakukan di pengadilan negeri adalah;
a. saksi dipersilahkan untuk berdiri
b. bagi yang beragama Islam, aksi berdiri dan di atas kepalanya ditaruh kitab suci Al Quran. Untuk beragama Kristen/Katolik petusa membacakan ijil (Alkitab) disebalah kiri saksi saksi, pada saat pengucapan supah tangan kiri diletakkan di atas kitab dan tangan kanan diangkat dengan mengacungkan jari telunjuk (bagi agama katolik) dan bentuk V bagi agama kristen.
c. Mengenai lafal sumpahnya dibimbing oleh ketua majelis hakim.
d. Lafal sumpah bagi saksi adalah sebagai berikut, “saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya” (tim peneliti/pemeriksa buku II, Pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi pengadilan buku II, proyek pembinaan teknis yustisial Mahkamah Agung RI, 1997;166-167).
e. Untuk saksi yang beragama Islam, lafal sumpah tersebut diawali dengan : Wallahi/demi Allah”, untuk sak yang beragama katolik dan kristen protestan lafal sumpah (janji) tersebut diakhir dengan ucapan … semoga Tuhan menolong saya”, untuk saksi yagn beragama Hindu lafal sumpah diawali dengan kata “ Om atah parama wisesa …”, untuk saksi yang beragama Budha sumpah diawali dengan ucapan “demi Sang Hyang Adi Budha …” (Al Wisnu Broto, 2002:17).
7. Setelah pengucapan sumpah selesai, Hakim mempersilahkan saksi duduk kembali dan mengingatkan agar memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya karena sudah terikat dengan sumpah. Dan memberikan keterangan brdasarkan apa yang dialami sendiri, dilihatnya sendiri dan didengarnya sendiri.
8. Selanjutnya Hakim mempersilahkan jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi, dan saksi menjawab dengan berdasarkan apa yang dialami sendiri, rasakan sendiri dan lihat sendiri.
9. Setelah jaksa menganggap selesai dalam mengajukan pertanyaan, maka jaksa mengembalikan kepada hakim, lalu hakim mempersilahkan kepada Penasehat Hukum untuk mengajukan pertanyaan.
10. Namun sering terjadi hakim juga ikut mengajukan pertanyaan kepada saksi, padahal seharusnya tidak demikian karena hakim fungsinya sebagai wasit bukan sebagai pemain, kalau hakim ikut bermain logikanya sangat wajar kalau terdakwa/penasehat hukumnya merasa dikerosak oleh hakim dan jaksa penuntut umum.
11. Setelah pertanyaan dari jaksa penuntut umum dan penasehat hukum dianggap selesai maka hakim harus menanyakan kepada terdakwa, “apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut ebnar atau ada sanggahan? “ apakah keterangan yang disampaikan oleh saksi tersebut benar atau ada sanggahan? “apabila terdakwa menganggap benar maka tidak perlu lagi ditanya mana yang benar, namun jika terdakwa mengatakan ada yang tidak benar maka terdakwa diminta untuk memberikan mana yang dianggap tidak benar.
12. Untuk saksi berikutnya juga sama dalam pemeriksaannya seperti yang diatas, pemeriksaan saksi ini sesuai dengan jumlah yang diajukan jaksa penuntut umum, maka semuanya harus diperiksa satu persatu.
13. Satu catatan penting yang harus diperhatikan dalam mengajukan pertanyaan adalah tidak boleh mengajukan pertanyaan yang berisfat menjerat mislanya “waktu kamu melakukan pencurian, apakah kamu menggunakan alat ini”.
B. Pengajuan Saksi yang meringankan (Adcharge) oleh terdakwa/Penasehat Hukumnya.
1. Pemeriksaan saksi yang meringankan ini juga sama dalam hal teknisnya yaitu menyangkut identitas saksi, hakim bertanya pada saksi, apakah saksi ada hubungan darah dengan terdakwa dan lain sebagainya.
2. Saksi ini juga disumpah menurut agama dan kepercayaannya bahwa dia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain daripada yang sebenarnya.
3. Dalam hal mengajukan pertanyaan teknisnya sama dengan pemeriksaan saksi diatas.
4. Satu hal juga yang paling penting diperhatikan oleh saksi, bahwa dia harus memberrikan keterangan yang sebenar-benarnya oleh sebab itu hakim harus selalu mengingatkan kepada saksi yang sedang diperiksa serta memberitahukan saksi yang harus diterima jika dia memberikan keterangan palsu. Namun apabila saksi tidak mengindahkan peringatan hakim dan tetap pada keterangan palsunya maka hakim ketua sidang karena jabatannya, atau atas permintaan penuntut umum dan atau penasehat hukum terdakwa untuk memerintahkan saksi untuk ditahan serta selanjutnya dituntut karena keterangan palsu (pasal 174 ayat (2)).
5. Selanjutnya kalau terjai keterangan palsu oleh saksi maka panitera membuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa alasan saksi adalah palsu, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut Undang-undang yang berlaku.
6. Jika terdakwa dan saksi tidak bisa berbahasa Indonesia, maka hakim ketua menunjuk juru bahasa dan diminta berjanji untuk memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya. Dalam hal terdakwa dan saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis maka hakim mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terakwa. Atau saksi itu.
7. Setelah pemeriksaan saksi-saksi dianggap selesai maka hakim ketua menanyakan kepada terdakwa apakah benar apa yang dikatakan dalam keterangan saksi tadi, terdakwa boleh menjawab tidak benar apabila keterangan saksi memang tidak benar dan menjawab salah jika keterangannya salah.

C. Pemeriksaan Terdakwa
1. Setelah pemeriksaan terhadap saksi-saksi dianggap selesai maka hakim memerintahkan kepada terdakwa untuk duduk di kursi pemeriksaan untuk diperiksa.
2. Dalam pemeriksaan terdakwa ada perbedaan menyangkut sumpah, pada saat pemeriksaan saksi, perlu dilakukan sumpah sedangkan untuk terdakwa tidak perlu sumpah.
3. Setelah terdakwa duduk di kursi pemeriksaan, hakim menanyakan apakah terdakwa dalam keadaan sehat tidak menderita sakit apapun terdakwa untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak menyulitkan proses peradilan.
4. Selanjutnya ketua majelis hakim mulai menyampaikan pertanyaan-pertanyaan disusul hakim anggota kalau perlu hakim menunjukkan barang bukti untuk memperjelas pemeriksaan, kalau majelis hakim dirasa cukup maka kesempatan selanjutnya diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk bertanya dilanjutkan oleh penasehat hukum mengenai tatacara pemeriksaan terdakwa sama dengan ketika pemeriksaan terhadak saksi-saksi.
5. Dalam hal terdakwanya lebih dari satu maka pemerisaan dilakukan satu persatu secara bergantian. Hakim dapat menilai kecocokan dari masing-masing keterangan terdakwa.
6. Kalau majelis hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum telah selesai. Maka hakim dapat menyatakan bahwa seluruh rangkaian pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim meminta jaksa penuntut umum untuk mempersiapkan tuntutannya yang akan dibacakan dalam sidang tuntutan.

B.3. Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana (Requisitioir), Pleeidoi (Pembelaan), Replik dan Duplik (tanggapan-tanggapan).
1. Hakim ketua membuka sidang dan menjelaskan bahwa sidang pada hari itu adalah pembacaan tuntutan pidana.
2. Hakim bertanya pada jaksa penuntut umum apakah telah siap untuk membacakan tuntutannya? Kalau jaksa penuntut umum telah siap maka ketua majlis hakim mengingatkan pada terdakwa untuk mendengarkan secara cermat bunti tuntutan. Mengenai tacara pembacaan tuntutan sama dengan pembacaan surat dakwaan.
3. Setelah selesai pembacaan tuntutan, hakim menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham dengan isi tuntutan, jika perlu hakim sedikit menjelaskan poin-poin tuntutan jaksa, selanjutnya berkas tuntutan/surat tuntutan yang asli diserahkan kepada majelis hakim, dan salinannya diserahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya.
4. Hakim bertanya pada terdakwa dan penasehat hukum apakah akan mengajukan pembelaan (pleidooi) kalau akan mengajukan maka hakim meminta kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk memeprsiapkan nota pembelaan yang akan dibacakan pada sidang berikutnya.

B.3.2. Pembacaan Pembelaan (Pleidooi).
1. Kalau akan mengajukan pembelaan maka dalam hal mengajukan pembelaan terdakwa dapat dengan cara lisan maupun tertulis. Kalau mengajukannya dengan cara lisan maka terdakwa dipersilahkan untuk menyampaikan pembelaannya, namun dalam hal ini panitera harus aktif dan membuat berita acara, selain itu juga hakim harus mencatat poin-poin penting dari pembelaan tersebut. Namun dalam hal pembelaan diajukan dengan cara tertulis maka terdakwa dipersilahkan untuk membacakan pembelaan dengan cara berdiri, setelah selesai berkas atau nota pembelaan yang asli diserahkan kepada majelis hakim salinannya diserahkan kepada jaksa penuntut umum.
2. Kalau terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya kepada penasehat hukum, maka hakim pertanya pada penasehat hukum apakah sudah siap dengan naskah pembelaannya?. Kalau sudah siap maka ketua majelis hakim emmpersilahkan penasehat hukum untuk membacakannya. Mengenai tatacara pembacaannya sama dengan tatacara pembacaan eksepsi.
3. Setelah pembacaan pembelaan selesai selanjutnya naskah nota pembelaan yang asli diserahkan kepada ketua majelis hakim dan salinannya diserahkan kepada jaksa penutnut umum dan terdakwa.
4. Berikutnya hakim bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah akan mengajukan tanggapannya (replik) kalau ternyata jaksa penuntut umum akan memberikan tanggapannya maka hakim memebrikan kesempatan untuk menyusun tanggapannya untuk diajukan dalam sidang berikutnya.

B.3.3. Pengujian tanggapan-tanggapan (Replik, Dublik, Rereplik, Reduplik)
1. Hakim membuka sidang, selanjutnya bertanya kepada jaksa penuntut umum apakah telah siap dengan tanggpannya ? kalau telah siap hakim mempersilahkan jaksa peuntut umum untuk membacakan tanggapannya (replik) tatacara pembacaan sama dengan tata cara pembacaan requisitoir.
2. Kesempatan selanjutnya hakim bertanya pada penasehat hukum apakah akan memberitanggapan juga (duplik) kalau akan megnajukan, maka hakim bertanya apakah telah siap dengan tanggapannya, selanjutnya hakim mempersilahkan pada penasehat hukum untuk membacakan tanggapannya. Tatacaranya sama dengan waktu membacakan pembelaan.
3. Setelah tanggapan pertama sudah selesai kalau dirasa masih ada yang perlu ditanggapi maka hakim mempersilahkan untuk memberikan tanggapan berikutnya (rereplik dan reduplik) kesempatan pertama diberikan pada jaksa penuntut umum dilanjutkan oleh penasehat hukum.
4. Pengajuan tanggapan-tanggapan sudah selesai maka hakim bertanya pada jaksa penuntut umum dan penasehat hukum apakah ada sesuatu lagi yang akan diajukan dalam pemeriksaan. Kalau tidak maka hakim menyatakan bahwa pemeriksaan dianggap selesai dan selanjutnya menutup sidang serta memberitahu bahwa sidang berikutnya adalah sidang pembacaan putusan.

B.4. Pembacaan Putusan Hakim (Vonis).
Dalam hal putusan hakim diatur dalam pasal 182 KUHP ayat (3) sampai ayat (7) yang secara ringkas dapat dijelaskan bahwa hakim dalam mengambil keputusan harus mendasarkan pada surat dakwaan, eksepsi requisitoir, pleidooi serta tanggapan-tanggapan. Dilakukan dengan cara musyawarah tertutup. Dalam mengajukan analisis serta argument hukum (legal reasoning) maka kesempatan pertama diberikan kepada hakim yuniour selanjutnya diberikan kesempatan kepada hakim senior dan terakhir kesempatan kepada ketua. Dalam mengambil keputusan selalu menggunakan suara terbanyak sebagai hasil putusan kecuali dalam hal tidak tercapai yang diatas maka keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Putusan dituangkan dalam bentuk naskah dan dibukukan dalam buku khusus di Pengadilan Negeri dan buku ini safatnya rahasia yang sering disebut dissenting opinion. Setelah putusan dianggap siap untuk dibacakan maka urutan pembacaan putusan adalah sebagai berikut:
1. hakim membuka sidang selanjutnya terdakwa dipersilahkan untuk duduk dikursi pemeriksaan, hakim mengingatkan terdakwa agar mendengarkan putusan dengan cermat.
2. Hakim mulai membacakan putusan yang diawali dengan kata "“mengadili"”dan seterusnya. Tatacara pembacaannya sama dengan ketika pembacaan putusan sela.
3. Ketika akan membacakan amar putusan diawali dengan kata "mengadili"”terdakwa dipersilahkan untuk berdiri setelah pembacaan amar putusan selesai hakim mengetukkan palu sebanyak 1 kali selanjutnya terdakwa dipersilahkan duduk kembali. Selanjutnya hakim sedikit menjelaskan poin-poin dalam putusannya kepada terdakwa meyangkut bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana atau tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga putusannya penjatuhan pidana atau bebas. Serta menyakan sikap dari terdakwa dan penasehat hukumnya. Apakah akan banding, pikir-pikir dulu. Atau menerima putusan tersebut.
4. Kalau terdakwa/penasehat hukum mengatakan pikir-pikir maka hakim memberikan waktu tujuh hari terhitung mulai hari itu untuk pikir-pikir. Namun jika terpidana menyatakan banding, maka hakim memerintahkan terpidana untuk menandatangi nota permohonan banding, kalau terdakwa menerima mka menandatangani berita acara menerima putusan yang telah dipersiapkan oleh panitera.
5. Jika majelis hakim menganggap seluruh rangkaian sidang dianggap selesai maka ketua majelis hakim menutup sidang dengan mengucapkan kira-kira “sidang dinyatakan ditutup” dengan ketukan palu 3 kali.
6. Selanjutnya panitera sebagai protokol mengucapkan “majelis hakim akan meninggalkan ruangan hadirin dimohon untuk berdiri” lalu majlis hakim keluar ruangan diawali ketua diikuti hakim anggota senior dan dibelakangnya hakim yunior. Namun dalam prakteknya sering kali tidak demikian karena setelah sidang ditutup hadirin sudah keluar sendiri-sendiri bahkan majelis hakim masih duduk dikursinya.